PROFIL PENDIRI PONDOK PESANTREN RU 2 PUTUKREJO
1. Riwayat Hidup dan Pendidikan KH Qosim Bukhori
KH Qosim Bukhori lahir pada tahun 1941 di desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi kabupaten Malang. Qosim kecil yang lahir dan dibesarkan di kalangan keluarga pesantren yang taat dalam menjalankan ajaran Islam menerima pendidikan awal dari abahnya sendiri, yaitu KH Bukhori Ismail. Oleh ayahnya yang mursyid thoriqoh Naqsabandiyah itu, beliau dididik dasar-dasar ilmu agama, terutama pelajaran membaca Alqur’an dan tajwidnya serta ilmu tatakrama dalam kehidupan (al-akhlak al-karimah).
Sejak masa kecil, kiai Qosim memang selalu mengikuti jejak dan sering membantu sang ayah tatkala melakukan ibadah-ibadah ritual keagamaan. Beliau biasa membawakan lampu templek ketika kiai Bukhori berangkat ke masjid yang terletak di sebelah rumahnya untuk menunaikan sholat malamnya. “Entah, saya merasa kasihan saja sama abah. Dan ingin membantunya,” kata beliau pada suatu waktu mengenai kebiasaan beliau sering menolong sang abah.
Pada tahun 1950 beliau belajar di madrasah Miftahussyibyan yang berada di dekat rumahnya sendiri. Madrasah yang kelak kemudian hari berganti nama menjadi madrasah Raudlatul Ulum itu didirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat desa Ganjaran, antara lain abahnya sendiri, KH Bukhori Ismail, KH Yahya Syabrawi dan KH As’ad.
Disamping belajar di madrasah tersebut, beliau juga menghabiskan waktu belianya di pondok pesantren Raudlatul Ulum I yang terletak sebelah selatan dari rumahnya. Pesantren ini diasuh oleh kiai Yahya Syabrawi yang tidak lain merupakan kakak iparnya sendiri.
Di waktu berada di tempat ini kesungguhan kiai Qosim Bukhori dalam hal menimba ilmu agama sudah tampat pada diri beliau, terutama ilmu yang berkaitan dengan masalah tasawuf. Hal ini beliau ungkapkan sendiri kepada putra-putranya dan kepada masyarakat luas dalam kesempatan pengajian bahwa beliau mempelajari kitab Hikam karangan Syaikh Ibn Atoillah berkali-kali. “ Saya ngaji kitab itu kepada kiai Yahya Syabrawi lebih dari sepuluh kali. Bagitu khatam, diulang. Bagitu seterusnya. Maka kalau sekarang mengaji kitab Hikam hanya sekali, lebih-lebih tidak khatam, ya nggak ada apa-apanya,” ungkap beliau.[1]
Tidak saja masalah ketelatenan mengaji kitab kuning, di tempat ini pola kesederhanaan hidup beliau sudah terlihat. Menurut cerita Bapak Abd Qowi dari daerah Pagedangan, pernah pada suatu malam kiai Qosim Bukhori mengajak dirinya untuk memasak nasi dan beliau yang akan mencari lauk-pauknya. Setelah nasi hampir matang, Bapak Abd Qowi bertanya, “Gus, nasi ini mau dimakan dengan apa ?” Lalu beliau menjawab, “sebentar, saya ke belakang (dalem kiai Yahya Syabrawi).” Setelah ke belakang, tak lama kemudian beliau membawa tiga helai bayam mentah dan beberapa lombok. “Lho, Gus bagaimana ini ?” Tanya alumni pesantren Raudlatul Ulum I yang kini telah menjadi tokoh di daerahnya itu terheran-heran. “Sudah lah ! Kita makan dengan ini saja,” jawab beliau dengan tenang.[2] Inilah bagian dari gaya hidup sederhana yang beliau miliki sejak usia muda hingga beliau memasuki usia cukup sepuh sikap hidup sederhana ini tetap menjadi salah satu ciri hidup beliau.
Kepribadian beliau samakin tampak, ketika beliau kembali dari pondok pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Meski sudah pulang dari pesantren, kiai Qosim sebelum menikah biasanya berada di pesantren Raudlatul Ulum I. Pada saat itulah beliau tidak saja dikenal sebagai seorang berpola hidup sederhana, tetapi juga dipandang oleh teman-teman santri RU I sebagai putra ulama yang tegas serta keras terhadap peraturan dan tata tertib pesantren asuhan kakak iparnya, KH Yahya Syabrawi itu, terutama peraturan yang berkaitan dengan masalah syar’i, seperti sholat berjamaah.
Menurut KH Romli, seorang alumni Pesantren Raudlatul Ulum I asal Sumber Manjing, kiai Qosim tidak segan-segan akan melempar batu bata kepada seorang santri yang diketemukan tidak ikut sholat. berjamaah. Di daun pintu kamar 1-A, sebuah kamar yang beliau tempati ketika berada RU I, terpampang tulisan : Santri wajib ; 1) mengikuti sholat berjamaah, 2) mengikuti musyawarah.
Masih menurut cerita pengasuh pondok pesantren Raudlatul Ulum Seddeng Bangkalan Madura itu, pernah suatu waktu kiai Qosim Bukhori melihat Ali Makki, seorang santri asal Madura yang kini bermukim di desa Ganjaran, sedang memasak nasi padahal saat itu jam wajib musayawarah bagi semua santri. Menyaksikan ada santri yang tidak menaati peraturan pesantren, kiai Qosim Bukhori yang ketika itu masih muda kemudian menjadi marah melihat pearturan dilanggar. Tanpa berbasa-basi panjang, kiai Qosim menendang kendil yang sedang bakar, karuan saja Ali Makki berlari terbirit-birit ketakutan.[3]
Ketika berada di desa Ganjaran ini, beliau tidak saja ber”tabaruk ilmu” (mencari barokah ilmu) kepada ayahanda, KH Bukhori Isma’il dan kakak ipar, KH Yahya Syabrawi, tetapi beliau juga mengaji kepada saudara kandung yang tertua, KH Zainulloh Bukhori. Tanda-tanda kiai Qosim Bukhori merupakan seseorang akan menjadi ulama kharismatik karena kaliman dan istiqomahnya sudah muncul semenjak berada di desa tempat kelahirannya ini. Hal pernah diceritakan oleh ibu Nyai Zainab bahwa pernah suatu hari pada saat ikut mengaji sebuah kitab kuning kepada kiai Zainulloh itu, Qosim muda tatkala itu tertidur. Tetapi sang kakak yang juga seorang guru thariqot Naqsyabandiyah itu melarang santri yang lain membangunkannya, “sudah, biar ! Kalau Qosim jangan dibangunkan. Dia besok akan alim sendiri, “ kata pengasuh pesantren Nurul Ulum Ganjaran itu.
Sebagaimana layaknya para kiai terdahulu yang hampir dipastikan pernah merantau ke berbagai pondok pesantren dalam upaya pencarian ilmu agama, Qosim muda pada kurun waktu 1956 melanjutkan pendidikan ilmu agamanya di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH Ramli Tamim dan putranya KH Mustain Ramli. Kedua guru beliau ini selain dipandang sebagai tokoh NU, juga dikenal mursyid (pembimbing rohani) thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah. Pada tahun 1963 beliau boyong dari pesantren yang merupakan salah satu pondok pesantren besar di Jawa itu.
Menurut Bapak Isma’il Fathulloh, salah seorang sahabat beliau ketika berada di pondok pesantren Darul Ulum, keberadaan kiai Qosim Bukhori ketika di pesantren ini sudah memperlihatkan tanda-tanda lain dalam diri beliau. Menurut cerita guru dari desa Boro Panggungrejo Gondanglegi itu sering kiai Qosim Bukhori ketika di pesantren Jombang itu saat bersama dirinya bercerita bermimpi para nabi-nabi. Pada satu hari beliau pernah bermimpi Nabi Ibrahim, pada hari yang lain beliau bercerita pernah bermimpi Nabi Harun.[4]
Perburuan mencari ilmu yang dilakukan oleh kiai Qosim Bukhori tidak berhenti sampai di situ saja. Beliau masih meneruskan berkelana dengan nyantri kepada KH Mujib Abbas Buduran Sidoarjo selama satu tahun. Di samping itu, beliau pernah duduk di bangku kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tetapi karena kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu masih kacau oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, membuat perkembangan dunia pendidikan tidak lagi kondusif. Oleh karena itulah, kiai Qosim Bukhori lebih memilih meninggalkan alam akademisi yang selama tiga tahun digelutinya.[5]
2. Latar Belakang Keluarga
Bila dilacak dari silsilah keluarga KH Qosim Bukhori, sebetulnya tidak seluruh terdiri dari orang alim yang pandai agama. Hal ini dapat dibaca dari riwayat hidup ayah kakeknya, yaitu embah Abdulloh. Menurut cerita yang ditulis oleh ibu Nyai Kultsum, salah seorang famili kiai Qosim Bukhori dari desa Gunung Pandek Pegelaran, Beliau ini adalah seorang penjual tali tampar yang berasal dari desa Ras Bajah Bangkalan Madura. Embah Abdulloh dalam menjajakan dagangan sampai ke daerah Sampang, bahkan terkadang ke daerah Pamekasan. Kemudian beliau menikah dengan seorang perempuan yang belum jelas namanya dan dikaruniai putra 6 orang, yaitu 1. Kolong (Isma’il), 2. Saman, 3. Senija, 4. Rosyidah, 5. Arsi, dan 6. Asi.
Oleh karena itulah maka Embah Abdulloh lebih dikenal dengan sebutan Mak Kolong, sementara istrinya dipanggil dengan nama Buk Kolong. Mak Kolong ini bukan seorang ahli dalam beribadah, tetapi ia sosok yang jujur dan keras. Bahkan kepada putra-putranya beliau pernah mengatakan, “kalau anak saya dipermalukan orang ditengah-tengah banyak orang dengan tanpa kesalahan, saya rela mendapati mayatnya saja. Tapi, bila dia yang bersalah dan orang lain tidak berani membunuhnya, maka sayalah yang akan memenggalnya.” Alhasil, keturunan Embah Abdulloh tidak boleh membuat gara-gara, tetapi jangan mencari gara-gara dengan mereka.
Oleh Embah Abdulloh punya prinsip demikian itu, maka semua putra-putranya dilarang keras keluar malam. Sebab, yang sangat dikhawatirkan ialah akan rusak akhlaknya akibat perempuan. Pada suatu malam Embah Abdulloh mengontrol putra-putranya yang sedang tidur, kebetulan pada waktu itu Isma’il (Kolong) tidak ada di tempat sedang mencari jangkrik. Setelah mengetahui Kolong tidak ada, baliau berprasangka putranya itu sedang mengintip perempuan. Maka, serta merta Embah Abdulloh mencarinya dengan membawa senjata tajam sembil bersuara :”Jika Kolong kutemukan akan kubunuh dia ! Tak kuasa aku menanggung rasa malu terhadap tetangga,” kata beliau lantang. Mengetahui keadaan demikian itu, Isma’il tidak berani pulang dan akhirnya menginap di rumah kerabatnya di desa Kompinang. Pada saat itulah ia punya fikiran untuk lari ke sebuah pesantren. Tetapi karena tidak membawa bekal, akhirnya ia pulang dengan diam-diam dan membawa 2 ikan udang, 2 kain sarung perempuan (carik), dan sebilah golok. Barang-barang tersebut akhirnya dijual, uangnya itulah yang dibuat bekal ke pesantren. Kemudian ia berangkat ke pesantren di desa Ba’ Batuh yang diasuh kiai Karang Anyar. Ismai’il muda melakukan sebuah kebiasaan (tirakat) tidak tidur malam sambil menulis.
Pada suatu malam Isma’il bermimpi meminum darah dari jari telunjuk gurunya, hingga sang guru wafat. Setelah terbangun dari tidurnya itu, Isma’il manangis karena merasa telah melakukan kesalahan besar, su’ul adab (tidak punya sopan santun) dan bergegas menunggu gurunya keluar dari dalem untuk melakukan sholat tahajud. Ketika diketahui menasngis oleh gurunya dan ditanyakan sebab-sebabnya dan Isma’il pun menceritakan mimpi yang dialaminya, maka sang guru berkata :”Teruskan apa kelakuanmu ! Insyaallah, kamu akan punya keturunan yang alim, meski ilmumu cukup sederhana. Tetapi sebaiknya kamu pindah saja dari sini ke pesantren milik guruku di Sepanjang Surabaya”. Sesampainya disana, kiai Sepanjang Surabaya itu justru berkata, “Sebelum ilmuku kamu minum, sebaiknya kamu mondok di pesantrennya kiai Yahya Karang Anyar Kamal Madura”. Setelah lama di Karang Anyar Kamal, Isma’il pindah lagi ke pesantrennya kiai Muhsin Blega Bangkalan. Setelah ia merasa faham tentang hukum Islam, mengerti dosa orang tidak sholat dan segala hukum syari’at, akhirnya ia berfikir tentang ayahnya yang menanggalkan sholat, sebab di rumahnya yang melakukan sholat itu hanya ibunya saja. Oleh itulah kemudia ia pulang ke desa Kompenang hendak memberi pemahaman tentang sholat dan hukum kepada orang tuanya. “Kalau ayah tidak mau sholat juga, maka saya yang akan membunuhnya,” demikian ungkapan Isma’il. Sementara ayahnya mendengar bahwa anaknya ada di desa Kompenang, masih tetap ingin membunuh putranya karena ingat sesumbarnya dahulu. Padahal, sudah empat tahun lebih Isma’il meninggalkan rumah. Setelah sama-sama bersesumbar untuk saling membunuh, ibu Isma’il menetralisir keadaan hingga akhirnya Embah Abdulloh berkenan diajari putranya sendiri. Dan pada akhirnya, Embah Abdulloh mau melaksanakan sholat sampai sekitar empat bulan kemudian beliau wafat karena sakit. Dapat dipastikan, Embah Abdulloh menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan khusnul khotimah (baik pada akhir hayat).[6]
Meskipun riwayat hidup yang dijalani oleh Embah Abdulloh sedemikian itu, tetapi bila garis keturunan ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata KH Qosim Bukhori masih merupakan keturunan seorang alim yang dihormati karena dikenal kewaliannya oleh banyak orang, yaitu As-Sayid Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat). Dari Sunan Gunung Jati inilah, rentetan silsilah kiai Qosim Bukhori sampai pada As-Sayid Husein putra As-Sayidah Fatimah al-Zahra binti Rosulillah saw. Dilihat rangkaian keturunan ini, maka kiai Qosim Bukhori berada pada tingkat yang ke 29 dari Nabi Muhammad saw. Untuk lebih jelas lagi, bagan silsilah kiai Qosim Bukhori dapat dilihat dalam lampiran.
Melihat silsilah keturunan dari pihak ibu, asal usul kiai Qosim Bukhori juga bukan termasuk golongan ulama. Malah, kakek ibu beliau yang bernama H Abd Rosyid atau yang dikenal dengan sebutan Embah Rosyid adalah petani sukses yang kaya raya di desa Ganjaran. Menurut cerita Gus Yasir, salah seorang famili kiai Qosim Bukhori, nilai kekayaan Embah Rosyid bisa dilacak dari luas sawah yang dimilikinya. “Saking luasnya sawah Embah Rosyid, butuh waktu satu minggu untuk mengalirkan air ke sawah-sawahnya. Karena luasnya itu, maka terpaksa harus menutup saluran air jurusan ke Gondanglegi yang berada di depan masjid jamik
Putat Lor itu,” ungkap Gus Yasir dari Ganjaran lagi.[7]
Tetapi, meski Embah Rosyid seorang yang kaya raya, tetapi kepribadian beliau dikenal sebagi sosok yang sangat cinta kepada ulama dan sangat dermawan. Dari dua sifat yang dimiliki embah buyutnya ini, kiai Qosim Bukhori pada suatu kesempatan pernah berkomentar :”Kalau keturunan Embah Rosyid tidak peduli terhadap perjuangan Islam, seperti ikut serta mengajar, maka hidupnya akan banyak diwarnai kesulitan, terutama hal yang barkaitan dengan ekonomi.”[8]
Termasuk dari sifat kedermawanan Embah Rosyid ini, sebagaimana cerita ibu Nyai Mamnunah Yahya, salah satu saudara kiai Qosim Bukhori, ialah setiap menjelang hari raya tidak saja semua pekerja sawahnya, tetapi tetangga dan famili diberi bingkisan sarung dan baju. Sedangkan sifat yang menunjukkan kecintaan Embah Rosyid kepada orang alim, masih menurut kisah Nyai Mamnunah Yahya dari Ganjaran, pernah suatu hari seusai mengambil uang dari pabrik gula Krebet, Embah Rosyid pulang melewati desa Putukrejo. Sesampainya di kampung Tuk Gale, Embah Rosyid menyetop kusir brendi yang ditumpanginya gara-gara beliau mendengar suara orang yang sedang membaca Alqur’an di sebuah surau. Kemudian beliau menemui orang tersebut dan terjadilah perbincangan. Karena tertarik kepada kepribadian orang yang baru dikenalnya itu, akhirnya Embah Rosyid menawarinya untuk menjadi menantu beliau. Orang tersebut bernama Zainuddin dari Madura. Hasil perkawinan kiai Zainuddin dengan putri Embah Rosyid ini dikaruniai seorang anak yang bernama Nyai Fatma, ibunya kiai Qosim.[9]
Dari sini dapat dibaca bahwa darah keulamaan kiai Qosim Bukhori dari pihak ayah adalah dari kakeknya, KH Isma’il dan abahnya, KH Bukhori. Sementara dari pihak ibu berasal dari KH Zainuddin dan ibunya sendiri, Nyai Hj Fatma. Sebagaimana disinggung di depan, sekelumit perjalanan hidup KH Isma’il yang juga dikenal dengan sebutan nama Kolong memang seorang yang kemudian menjadi pribadi alim setelah melakukan rihlah ilmiah (pengembaraan keilmuan) ke berbagai pondok pesantren.
Sementara riwayat hidup abah beliau, sebagaimana diceritakan KH Abd Rosyid Fudloli, salah satu keponakan kiai Qosim, adalah bahwa KH Bukhori Isma’il dilahirkan di desa Ombul Sampang Madura. Catatan tentang tanggal, hari dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara detail. Kiai yang pada masa kecilnya memiliki nama Idris itu menjadi yatim sejak masih kecil, karena itulah pengasuhan dan pendidikannya bersama dengan saudara-saudaranya yang lain diambil alih oleh kakak tertua, KH. Syamsuddin.
Menginjak usia 16 tahun, Idris muda meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu. Beliau pergi berguru pada KH. Jazuli, yang tinggal di desa Tetangoh, Pamekasan, Madura dan menetap disana selama tujuh bulan lamanya.
Pada tahun 1913 M, beliau melanjutkan pengembaraannya untuk menuntut ilmu kesebuah pondok pesantren yang terkenal saat itu, yaitu pondok pesantren yang diasuh oleh Syaikhona KH. Kholil (beliau dikenal sebagai pembawa kitab al-Fiyah Ibnu Malik ke Indonesia) di Bangkalan, Madura. Pondok pesantren Syaikhuna Kholil Bangkala adalah pondok pesantren yang memiliki kualifikasi yang sangat bagus untuk saat itu, maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa hampir semua ulama dipulau jawa pernah mngenyam manisnya ilmu di pondok pesantren tersebut. Idris muda menghabiskan waktunya mudanya dipondok pesantren tersebut, selama kurun waktu tujuh tahun.
Untuk melengkapi wawasan dibidang keagamaan, Idris muda melanjutkan pendidikannya di Makkah, Saudi Arabia. Disana beliau berguru pada Syeikh Hasan Al Yamany, bersama sang istri tercinta, Ny. Fatma, putri KH Zainuddin, seorang ulama di desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang, yang beliau nikahi pada tahun 1921M.
Setelah empat tahun lamanya beliau berguru dan belajar di Makkah, beliau pulang kembali ketanah air dan kemudian tinggal di desa Ganjaran Gondanglegi Malang. Dan sejak saat itu beliau merintis pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum” diseputar kediamannya dan membangun sebuah masjid (yang kemudian dikenal dengan nama masjid Asy-Syafi’iyah) pada tahun 1924 sebagai tindak lanjut pengembangan pondok pesantren yang beliau asuh. Dipondok pesantren yang beliau asuh itu, KH. Bukhori mengajarkan dasar-dasar keislaman kepada masyarakat sekitar seperti ilmu qira’ah dan ilmu tauhid, karena memang masyarakat desa Ganjaran ketika itu adalah masyarakat tidak mengenal nilai-nilai keislaman dengan baik. Melihat kenyataan ini, KH Bukhori berkeinginan untuk mengarahkan masyarakat kejalan lurus.
Pada awalnya pondok pesantren ini hanya memiliki sepuluh orang santri yang datang dari berbagi daerah dipulau Jawa, ditambah dengan beberapa santri yang tidak menetap dipondok pesantren yang berasal dari desa Ganjaran dan desa-desa sekitarnya. Pada perkembangan selanjutnya, pengajaran tidak hanya dilakukan dipondok pesantren saja, tetapi juga dilakukan di masjid dengan menggunakan sistem klasikal. Hal ini dilakukan karena jumlah santri yang terus berkembang, dan untuk mengintensifkan materi pelajaran.
Untuk pengajaran di masjid ini KH Bukhori dibantu oleh lima orang tenaga pengajar, mereka diantaranya KH Yahya Syabrawi (menantu KH Bukhori), KH Mukhsin Yasin, KH Qaffal, KH As’ad dan KH Abdul Hafidz (dari Putukrejo). Pengajaran dengan sistem ini berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 1937 sampai akhir masa penjajahan Jepang. Setelah Jepang tersingkir dari bumi pertiwi ini, sistem pengajaran diubah dengan menjadi bentuk madrasah yang berlangsung hingga saat ini dengan tidak menghilangkan materi-materi keagamaan.
Sebagaimana diketahui masa penjajahan Jepang merupakan masa-masa sulit bagi bangsa Indonesia, tidak terkecuali dengan pendidikan yang dirintis oleh KH. Bukhori harus rela dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Keadaan ini berlangsung kurang lebih tujuh tahun, yaitu sejak tahun 1942 sampai tahun 1948. Baru pada tahun 1949, pendidikan yang masih menggunakan metode klasikal itu dibuka kembali.
Bahkan sejak tahun 1949 itulah sistem pendidikan dirubah kearah yang lebih representatif, yaitu dengan menggunakan sistem madrasah, dengan jenjang pendidikan madrasah ibtida’iyah untuk putra dan madrasah tsanawiyah untuk putra. Akibatnya pertumbuhan jumlah anak didik semakin besar sehingga ruang masjid tidak lagi dapat menampungnya. Karena itu selanjutnya dibangun gedung khusus untuk madrasah, namun kurikulum yang dipakai masih tetap kurikulum lokal yang memuat pelajaran-pelajaran agama saja. Barulah pada tahun 1954, diadakan pengembangan dengan menambahkan pelajaran umum sebanyak 25 % dari alokasi materi pelajaran yang diajarkan pada anak didik.
Untuk meningkatkan jenjang pendidikan msayarakat, maka pada tahun 1960 dibuka madrasah ibtida’iyah untuk putri, dan pada tahun 1966 dibuka madrasah aliyah untuk putra dan madrasah tsanawiyah untuk putri. Dan Akhirnya pada tahun 1968, dibuka madrasah aliyah untuk putri.
Sedangkan dalam bidang sosial kemasyarakatan beliau memelopori penyebaran Jam’iyah Nahdlatul Ulama di wilayah Malang bersama KH. Nahrawi, seorang ulama di Malang. Selain itu, KH. Bukhori juga berperan aktif dalam penyebaran Thariqat Naqsyabandiyah di daerah Malang Selatan, sehingga jumlah keanggotaan thariqat naqsyabandiyah didaerah ini telah mencapai kurang lebih 30.000 orang. Ketiga hal tersebut yang menjadi concern KH. Bukhori sampai beliau dipanggil kembali kehadlirat Allah SWT, pada tahun 1976 dan dimakamkan disamping masjid Asy-Syafi’iyah desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang.[10]
Menurut kiai Qosim, abahnya dalam hal mendidik putra-putranya di samping menekankan pendidikan dhohiriyah, beliau juga melakukan semacam tirakat buat keberhasilan dan kebahagiaan mereka. Hal ini terbukti setiap anak selalu dibacakan al-Fatihah sebanyak 100 kali setiap hari oleh beliau. Oleh karena itulah, tidak heran jika semua putra-putra KH Bukhori Isma’il menjadi tokoh masyarakat yang selalu diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah umat.[11]
Tetesan darah kealiman kiai Qosim Bukhori juga terpancar dari kakek yang jalur ibunya, yakni KH Zainuddin. Menurut Nyai Hosniyah, salah satu famili KH Qosim Bukhori dari desa Gading Bululawang, beliau ini berasal dari kampung Dhurbuk Sampang Madura. Kemudian berkelana ke daerah pulau Jawa dengan tujuan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang pada akhir ditemukan oleh Embah Abd Rosyid sedang mengaji Al-qur’an. KH Zainuddin dalam sejarah menyebarkan misi Islam, sezaman dengan KH Zainul Alim (tokoh pertama yang menyebarkan dakwah Islam di desa Ganjaran yang kemudian dikenal dengan nama Kiai Tombu) dan KH Hasbulloh (seorang ulama yang menyebarkan dakwah Islam di desa Banjarejo Pegelaran).[12]
Sebagaimana kakeknya, ibunya Nya Hj Fatma juga seorang perempuan yang dipandang punya ilmu hikmah (ilmu rahasia kehidupan), meskipun beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut cerita kiai Qosim Bukhori, dalam keadaan sehari-hari, Nyai Fatma hanya bisa membaca Al-qur’an belaka, sementara tulisan lainnya tidak beliau kuasai. Tetapi, walaupun begitu beliau merupakan seorang yang taat dalam agama dan tekun dalam beribadah. Ketaatan dalam beribadah ini, beliau tampakkan dalam melakukan semuan peraturan agama yang diterima dari guru, terutama guru dalam ikatan thoriqoh Naqsyabandiyah, selalu dijalani dengan istiqomah.[13]
Sebagimana KH Bukhori Isma’il, Nyai Fatma juga termasuk salah satu akhawat (istilah dalam thariqoh Naqsyabandiyah untuk peserta zikir) yang tingkat zikirnya sudah mencapai kelas tinggi. Karena ketinggian zikirnya itulah, Nyai Fatma sering melakukan zikir di dalam air. Oleh karena ketinggian tingkat zikir dan ketaatan kepada gurunya itulah, menurut kiai Qosim Bukhori, tatkala Nyai Fatma mengeluarkan setiap ucapan dan kalimat nyaris tidak berbeda dengan isi kitab Hikam, sebuah kitab tasawuf klasik yang menjadi salah satu pegangan kalangan pesantren karangan Syaikh ibn Atoillah.
Masih menurut kiai Qosim, karena ketinggian derajat yang sudah diperoleh semasa hidupnya itulah, maka ketika wafat di tanah suci Makah al-Mukarromah tanda-tanda sebagian dari karomah Nyai Fatma dapat dilihat oleh orang lain. Yaitu, sebagaimana kuburan yang lain, makam Nyai Fatma hanya ditandai dengan batu biasa. Cuma saja batu itu tidak tersapu oleh debu padang pasir yang acapkali menutupi batu nisan kuburan yang ada di tanah Arab, hingga seringkali membuat kuburan menjadi hilang begitu saja. Melihat batu nisan masih tetap utuh, lalu seorang arab berkomentar, “Wah, ini kuburan orang baik.” [14]
Dengan asal-usul keturunan yang demikian itu, maka sangat dimaklumi jika KH Qosim Bukhori memiliki derajat keilmuan yang cukup mumpuni, tingkat ke-istiqomah-an dalam ibadah yang sangat tinggi, kesabaran dan ketabahan menghadapi segala macam rintangan dan cobaan yang mengagumkan serta tentu saja haibah (kewibawaan) yang cukup besar di mata masyarakat
3. Pengembangan Hubungan dengan Masyarakat dan Pemerintahan
Pengembangan Hubungan dengan Masyarakat
Terdapat timbak balik saling membutuhkan antara ulama/kiai (sebagai pemimpin informal) dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan seseorang untuk menjadi pemimpin di dalam kalang mereka. Sebab dengan dukungan yang diberikan oleh mereka, kedudukan kiai tersebut akan akan kokoh dan kuat. Di sinilah sesuatu yang dibutuhkan oleh kiai atau seorang ulama dalam memperoleh legitimasi kepemimmpinannya di mata masyarakat. Sebaliknya, dengan adanya kiai atau ulama yang tampil sebagai pemimpin, masyarakat akan merasa tertuntun jalan kehidupan mereka dan terarah tujuan duniwinya. Sebab, bagi mereka, keberadaan kiai atau ulama bukan saja sebagai tempat rujukan permasalahan yang bersifat agama saja, tetapi juga muara dimana mereka mengadukan soal-soal yang melilit roda kehidupan sehari-hari. Di sinilah posisi kiai atau ulama berada dalam pandangan masyarakat luas.
Oleh karena itu, adanya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara kiai dan masyarakat, membuktikan bahwa terdapat hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan antara eksistensi seorang kiai dan keberadaan masyarakat. Wujud kiai merupakan sosok golongan yang berada di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai lebih diatas rata-rata masyarakat. Nilai lebih itu antara lain : Sebagai suri tauladan di dalam tingkah laku, standar bagi masyarakat dalam menjalankan cara hidup secara Islami, dan rujukan dalam memecahkan permasalahan yang melingkari masyarakat dan segala bentuk kehidupannya.
Demikian juga dengan masyarakat desa Putukrejo yang sehari-hari memiliki hubungan erat dengan keberadaan kiai Qosim Bukhori. Di mata masyarakat luas di desa Putukrejo dan desa-desa lain yang berada dilingkungan kecamatan Gondanglegi, kiai Qosim Bukhori di padang sebagai sesepuh dan pemimpin baik di bidang agama, pendidikan ataupun di bidang-bidang yang lainnya. Sebagai pengasuh pesantren yang dirintisnya, kiai Qosim Bukhori tentu saja selalu mengarahkan dan berperan aktif dalam mengikutsertakan para santrinya untuk menyatu dengan masyarakat guna turut berpartisipasi dalam berbagai macam kegiatan di desa.[15] Dan sudah menjadi dari bagian fungsi keberadaan pesantren yang KH Qosim Bukhori itu sebagai lembaga pendidikan keagamaan, maka di samping terus menerus menyelenggarakan proses belajar mengajar, pesantren Raudlatul Ulum II juga giat mengadakan program-program keagamaan lainnya yang mengikutsertan warga masyarakat di desa Putukrejo. Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh kiai Qosim Bukhori sebagai pengasuh pesantren Radlatul Ulum II sebagai berikut :
1. Pengajian Hari Jumat
1. Pengajian Hari Jumat
Penyelenggaraan pengajian hari Jumat ini dilakukan pada setiap Jumat pagi. Kegiatan ini dimulai pada setelah shalat Shubuh dengan dibuka dengan pembacaan istighosah, lalu pembacaan kitab yaitu al-Hikam dan Tafsir Jalalain. Pada awalnya, kegiatan pengajian ini dipimpin langsung oleh kiai Qosim Bukhori sendiri, tetapi setelah berlangsung bertahun-tahun kiai Qosim Bukhori di bantu oleh Gus Ja’farisshodiq (putranya) dalam hal pembacaan istighosah, dan Gus Hamim Kholili (putra menantu) dalam bidang pembacaan Tafsir Jalalain. Sedang kiai Qosim sendiri praktis hanya membaca kitab tasawuf itu saja. Peserta pengajian rutin ini tidak saja diikuti oleh warga desa Putukrejo desa-desa sekitarnya, tetapi juga dihadiri oleh para simpatisan dari berbagai pelosok desa di luar kecamatan Gondanglegi. Adapun tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk terus memberikan penerangan tentang ketaqwaan dan keimanan terhadap Allah swt yang benar serta sesuai dengan tuntunan para ulama salaf kepada masyarakat (mustami’in).
2. Ketua Yayasan RSI Gondanglegi
Termasuk bagian dari keterlibatan kiai Qosim Bukhori di tengah-tengah masyarakat adalah menjadi Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) Gondanglegi. Rumah sakit kebanggaan warga masyarakat kecamatan Gondanglegi ini berdiri juga tidak lepas dari peran kiai Qosim Bukhori pada awal-awal wacana berdirinya rumah sakit itu. Peranan kiai Qosim Bukhori itu tatkala beliau yang mengungkapkan ide betapa masyarakat luas di daerah Gondanglegi sangat butuh sebuah tampat berobat kepada KH Yahya Syabrawi (salah satu tokoh agama yang berpengarug di kecamatan Gondanglegi) dan kepada abah Mahmuji (salah satu tokoh pemerintahan yang disegani di kecamatan Gondanglegi).
Isu yang dilontarkan oleh kiai Qosim Bukhori kepada kedua tokoh tersebut adalah masalah akan di bangun sebuah balai pengobatan milik orang-orang Kristen di daerah Pagelaran. Melalui isu tersebut, sontak kedua tokoh dengan pengaruh dan kharisma yang berbeda itu tergerak dan langsung memobilisir tokoh masyarakat di kawasan Gondanglegi untuk berupaya mendirikan sebuah rumah sakit yang Islami di daerah kecamatan yang mayoritas penduduknya Islam. Pada masa sebelum ada RSI, warga kecamatan Gondanglegi jika membutuhkan pengobatan harus ke rumah sakit Bokor Turen, yaitu sebuah rumah sakit milik orang-orang Nasrani. Setelah melakukan berbagai pertemuan yang dipandegani oleh KH Yahya Syabrawi, maka disetujui oleh semua pihak bahwa di kecamatan Gondanglegi akan didirikan Rumah Sakit Islam.
Akhirnya sekitar tahun 1975 mulailah dibangun sebuah rumah sakit yang bernuansa Islami dari swadaya masyarakat daerah setempat, dan keberadaannya terus berkembang hingga saat sekarang.[16] Sebagai Ketua Yayasan rumah tersebut ditunjuklah kiai Yahya Syabrawi sebagai tokoh sepuh yang memiliki pengaruh luas di daerah Gondanglegi. Tetapi kiai yang bermukim di desa Ganjaran itu wafat, maka jabatan Ketua Yayasan dipercayakan kepada kiai Qosim Bukhori.
3. Ketua Yayasan STAI AL-Qolam
Berangkat dari pemikiran bahwa santri lulusan dari madrasah aliyah agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi perlu ada pihak menjembataninya, maka kiai Yahya Syabrawi mempunyai keinginan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam yang dapat menampung siswa tamatan dari madrasah aliyah dan sederajat di kecamatan Gondanglegi. Gerakan awal yang dilakukan antara lain menyampaikan hal ini kepada abah Mahmuji, dan memerintahkan kepada Kepala Desa Putukrejo itu untuk berusaha dengan segala cara mendapatkan lokasi yang kemudian bisa dibangun perguruan tinggi sebagaimana dimaksud. Dari upaya inilah kiai Yahya Syabrawi mengumpulkan tokoh masyarakat Gondanglegi untuk berembuk merampungkan niatan tersebut. Sebagai langkah pertama dari rencana ini, ditunjuklah Drs H Mursyid Alifi (putra menantu kiai Yahya Syabrawi) untuk menjadi pelaksana pendirian perguruan tinggi. Salah satu yang dilakukan kiai Mursyid Alifi dari upaya realisasi rencana tersebut ialah dengan mempertemukan kiai Yahya Syabrawi dengan KH Oesman Mansoer (salah satu tokoh pendiri Unisma Malang). Dari sinilah kemudian disepakati adanya Fakultas Syari’ah Unisma Malang yang karena belum memiliki gedung sendiri, maka pelaksanakan perkuliahan untuk sementara waktu meminjam gedung milik SMA Agus Salim Gondanglegi. Tetapi setelah mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada tahun 1987 di bangun gedung permanen Fakultas Syari’ah Unisma Malang yang berlokasi di Putat Lor Gondanglegi. Sedangkan Dekan Fakultas dimandatkan kepada Drs KH Mursyid Alifi sebagai pelaksana proses pembelajaran.
Satu hal yang menerik adalah pada suatu waktu kiai Qosim Bukhori ditunjuk oleh kiai Yahya Syabrawi sebagai Ketua Yayasan perguruan tersebut. Pada awalnya kiai Qosim Bukhori sempat mengelak, karena kiai Mursyid Alifi masih menjadi pelaksana dari pendidikan itu. Namun ternyata selang beberapa tahun dari penunjukan kiai Yahya Syabrawi itu, Drs KH Mursyid Alifi tutup usia pada saat-saat masih energiknya. Dan Ketua Yayasan berpindah tangan kepada kiai Qosim Bukhori hingga nama Fakultas Syari’ah berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Qolam sebab peraturan pemerintah.[17]
4. Membentuk Ikatan Alumni YASRU
Untuk meningkatkan jalinan silaturahmi yang diharapkan dapat berlangsung komunikatif dan berkesinambungan antara pihak pengasuh, santri dan alumni yang telah menyebar ke berbagai daerah, maka kiai Qosim Bukhori membentuk sebuah organisasi yang diberi nama Yayasan Santri dan Alumni Raudlatul Ulum atau disingkat dengan istilah Yasru. Di dalam ikatan organisasi ini para alumni dapat berbuat banyak untuk terus menyumbangkan segala potensi yang dimilikinya setelah menyelasaikan pendidikan di pesantren Raudlatul Ulum II, misalnya Yasru mengkoordinir para alumni untuk menyelenggarakan pertemuan alumni setiap akhir tahun di pesantren Raudaltul Ulum II, melakukan turba (turun ke bawah) ke daerah-daerah kantong alumni dan santri Raudlatul Ulum II, dan mengadakan iuran lewat kotak sumbangan yang disebarkan kepada semua alumni di berbagai desa pelosok dan kota, dimana hasil pengumpulan dana itu dialokasikan kepada pos pendidikan di peasntren Raudlatul Ulum II. Untuk memperlancar kegiatan yang di usung oleh alumni ini, maka dibentuk pengurus pusat yang diberi amanat melaksanakan kegiatan yang bersinggungan dengan alumni dan koordinator daerah (korda) yang bertugas menjembatani hubungan antara alumni dan masyarakat dengan pengurus Yasru pusat.[18]
Pengembangan Hubungan dengan Pemerintahan
1. Hubungan Baik dengan Semua Jajaran
Secara garis besar hubungan antara pesantren Raudaltul Ulum II dengan instansi pemerintahan dapat dikatakan sangat integratif dan hamonis, terlebih setelah adanya upaya pengembangan pendidikan dan perubahan orientasi yang ada di dalam pendidikan tersebut. Pada masa-masa awal berdirnya pesantren Raudlatul Ulum II, arah pendidikan yang ada diorientasikan kepada pengenalan, pemahaman dan pendalaman ilmu yang terangkum dalam kitab kuning. Tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin menuntut formalisme pendidikan, maka dilingkungan pesantren Raudlatul Ulum II pendidikan tidak saja diarahkan pada pengenalan kitab kuning belaka, namun juga dikembangkan dengan pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan umum (non kitab kuning) yang berlangsung dalam bentuk formal dengan sistem klasikal sebagaimana yang diterapkan di dalam pola pendidikan nasional.[19] Secara struktural, di samping lembaga pendidikan yang ada berada di bawah naungan pesantren, juga termasuk dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) dan Departemen Agama (Depag)
Sosok KH Qosim Bukhori merupakan tokoh yang sangat dihormati dan disegani tidak saja oleh masyarakat kelas bawah, tetapi juga oleh birokrasi pemerintahan atau lembaga perusahaan. Keberadaan kiai Qosim Bukhori yang demikian ini sedikit banyak memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan di pesantren Raudaltul Ulum II. Salah satunya adalah pengakuan dan perhatian dari instansi pemerintahan atau lembaga perusahaan baik baik secara personal ataupun dalam bentuk kelembagaan. Tidak jarang kiai Qosim Bukhori mendapatkan dan menghadiri acara yang diadakan oleh aparatur pemerintahan atau perusahaan secara pribadi atau atas nama lembaga yang dipimpinnya, seperti acara memeperingati Israk Misrak yang diselenggarakan oleh Pemkot Malang atau pembukaan giling tebu yang diadakan oleh pabrik tebu Krebet Bululawang.
Kondisi semacam ini tentu saja merupakan keuntungan tersendiri bagi perkembangan pesantren Raudlatul Ulum II dalam hal pengembangan dan peningkatan kualitas pesantren. Karena dengan ketokohan kiai Qosim Bukhori yang sudah begitu dikenal di berbagai kalangan, membuat urusan kelembagaan manjadi lebih mudah jika sudah terkait dengan birokrasi kepemerintahan atau lembaga non pemerintah. Misalnya, pada tahun 2004 pesantren Raudalrul Ulum II mendapat bantuan uang senilai Rp 30.000.000,- untuk pengembangan perpustakaan dari perusahaan Pioneer Ketawang Gondanglegi.[20]
2. Terlibat dalam Dunia Politik
Keterlibatan kiai Qosim Bukhori dalam pentas politik sebetulnya sudah lama semenjak para ulama NU berada di belakang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagaimana para kiai NU yang mendukung partai berlambang ka’bah itu, kiai Qosim Bukhori pun matian-matian membela kendaraan politik mayoritas ulama NU ketika itu. Tetapi setelah PBNU memotori lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1998, tempat gerakan politik kiai Qosim Bukhori berali ke partai yang salah satu deklaratornya adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu. Bahkan di partai ini, kiai Qosim Bukhori terpilih menjadi Ketua Dewan Syura PKB Cabang Malang selama dua periode berdampingan dengan H M Sanusi, selaku Ketua Dewan Tanfidz.
Posting Lebih Baru
0 Response to "PROFIL PENDIRI PONDOK PESANTREN RU 2 PUTUKREJO"
Posting Komentar